26 Agustus 2009

Lokalitas pada sudut pandang kontemporer
Oleh: Denny Setiawan, ST. *

Arsitektur adalah penanda kota, bahkan bangsa, paling tidak itulah yang kita lihat pada fenomena menara Eiffel karya arsitek Gustav Eiffel di Paris, Sydney Opera House karya arsitek Jorn Utzon di Sydney, atau bahkan Guggenheim Museum di tepi kota Bilbao di Spanyol. Pada akhirnya kota-kota tersebut tidak meluputkan potensi mengeruk devisa dari karya-karya masterpiece arsitektur tersebut. Sebelum Guggenheim Museum berdiri di Bilbao, Bilbao hanya sebuah kota industri yang hampir mati dan cenderung menjadi beban negara Spanyol secara devisa dan radikalisme pemberontakan kaum Basque. Kini, sejarah mencatat bahwa kehadiran sebuah museum bernama Guggenheim Museum karya arsitek Frank O. Gehry yang mewujud dalam bentukan yang abstrak mampu merubah semua anggapan bahwa sebuah kota yang mati akibat tidak adanya potensi dan radikalisme seperti Bilbao tidak bias terselamatkan.

Bilbao, sejenak setelah Guggenheim Museum berdiri adalah keduk devisa pariwisata dari Spanyol. Tidak lengkap rasanya bagi pecinta seni mengunjungi Spanyol tanpa singgah sejenak dan berpose di depan Guggenheim Museum. Hal tersebut juga berlaku di Eiffel, Sydney Opera House, Great Wall di China dan banyak karya arsitektur masterpiece lain di seluruh dunia.Fenomena-fenomena terseut menunjukan bahwa arsitektur menempatkan diri di posisi penting dari peradaban kebudayaan sebuah bangsa. Bagaimana dengan Jakarta, pusat kegiatan pemerintahan Negara Republik Indonesia?

Sebagai Ibukota dari sebuah Negara besar berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa, masihkah kita terus menggantungkan diri kepada Monumen Nasional (Monas) karya arsitek Soedarsono dan F. Silaban sebagai landmark penanda kota? Ataukah kita boleh jadi mulai mendorong lahirnya karya-karya arsitektur baru yang justru mengarahkan kota ini pada sebuah identitas modernisme baru seperti fenomena yang terjadi di Dubai, Uni Emirat Arab? Atau mungkin lebih baik kita menelaah lagi potensi lokal kota ini dari berbagai sisi mulai dari seni, budaya, material, iklim, dan lain-lain yang akhirnya kita sebut sebagai pencarian lokalitas arsitektur sebuah kota? Semuanya menjadi menarik apabila ditarik pada kondisi saat ini dimana satu-persatu hasil budaya bangsa ini mulai diklaim oleh bangsa lain sebagai miliknya karena melihat rendahnya apresiasi bangsa ini terhadap hasil budayanya sendiri.

Dimanakah lokalitas ditempatkan di tengah begitu derasnya perkembangan arus informasi melalui kemajuan perangkat teknologi? Adalah sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh begitu banyak arsitek yang berkreasi membawa nama bangsa ini dalam setiap karya-karya arsitektur terbangunnya. Lokalitas bias jadi ditempatkan di tempat ke sekian dilihat dari begitu cepatnya perubahan radikalis bentuk-bentuk baru arsitektur di seluruh dunia.

Arsitektur di Jepang sebagai sebuah contoh, sejak era industrialis hingga kini malah lebih memperkokoh identitasnya sebagai arsitektur yang akrab dengan bahan-bahan metal (alumunium, baja, dll) dan beton sebagai identitas kontemporer mereka. Padahal, secara kasat kita tentu masih ingat arsitektur kayu dan kertas mereka pada zaman arsitektur awal di Jepang. Perubahan radikal juga terjadi di China menjelang olimpiade di Beijing tahun 2008 lalu. Bird Nest Stadium karya arsitek Jacques Herzog dan Pierre de Meuron, dan juga Watercube, stadion renang uang digunakan di olimpiade tahun 2008 menunjukan pada dunia keterbukaan China terhadap seni arsitektur kini (arsitektur kontemporoer). Di 2 negara dengan kekuatan penghargaan terhadap kebudayaan lokalnya masing-masing tersebut, arsitektur kontemporer mampu diterima dengan sangat baik. Pertanyaannya apakah dengan penerimaan tersebut mereka lupa dengan isu lokalitas teritori mereka sendiri dari cermin bentukan arsitektur baru yang mereka terima dan mereka hidupi? Pertanyaan tersebut akan dengan sendirinya terjawab apabila kita menelaah lebih dalam lagi alasan-alasan filosofis di balik berdiri megahnya karya-karya arsitektur tersebut kini.

Masyarakat Jepang terkenal sangat efisien dalam segala hal termasuk juga pemakaian material bagi arsitektur tempat mereka hidup. Tahun demi tahun mereka meneliti cara terbaik menyediakan lingkungan binaan yang efisien bagi semua aktifitas mereka mengarah kepada pemakaian material-material yang efisien berdaya tahan sangat lama. Penelitian tersebut mengarahkan mereka pada kemungkinan mengganti material dasar arsitektur mereka dari kayu menjadi metal dan beton tanpa melupakan inti-inti filosofis zen mereka yang mengharuskan keselarasan dengan alam bagi tempat mukim mereka. Begitupula yang terjadi di China. Filosofis sarang burung (bird nest) sebagai sebuah penanda kemakmuran diwujudkan dalam sebuah stadium yang secara bentuk sangatlah jauh berbeda dari bentuk arsitektur tradisoonal China pada umumnya. Penerimaan terhadap kemajuan teknologi tersebut mengajarkan kepada kita bahwa lokalitas arsitektur sebuah bangsa tidak bisa dilihat secara sempit dari bentuk ataupun material yang dipakai.

Bagaimana dengan arsitektur di Indonesia secara umum dan Jakarta pada khususnya? Melihat lebih dalam arsitektur sebuah kota tidak boleh lepas dari melihat fenomena yang terjadi di dunia pada umumnya. Isu mengenai pemanasan global, keberlanjutan dan lain-lain yang menjadi inti dari pelestarian lingkungan hendaknya tidak boleh terlepas dari awal perencanaan sebuah karya arsitektur. Apalah artinya arsitektur megah berfilosofis apabila arsitektur tersebut tidak berumur lama. Kesadaran tentang kondisi lingkungan sekitar yang mewujud dalam bentukan arsitektur tersebut juga menggambarkan bagaimana masyarakat lokal kota bersikap terhadap lingkungan sekitarnya. Esensi sikap dalam berarsitektur tersebutlah yang justru harus dimengerti ketika kita mencoba mengerti lokalitas dari sebuah karya arsitektur, lokalitas kota, bahkan lokalitas sebuah bangsa.

Kecenderungan kita menutup diri terhadap bentuk-bentuk arsitektur baru yang mengintervensi masuk justru dikhawatirkan menjadi bumerang bagi bangsa apabila tidak disikapi dengan bijaksana. Hendaknya karya arsitektur yang baru tersebut kita pelajari dengan filter fenomena-fenomena lokal dari keseharian kota hingga kemudian kita menemukan bentukan baru bagi kota kita sendiri yang akhirnya menghasilkan arsitektur baru yang kontekstual dan berkontribusi positif bagi kota dan sekitarnya. Tidakkah kita juga rindu bahwa yang dikenal dari kota Jakarta atau Indonesia adalah sebuah karya arsitektur yang menjadi penanda kota seperti yang terjadi di Paris, Bilbao, ataupun Sydney? Jika demikian bagaimana kita memaknai lokalitas yang menjadi identitas kota ini kini? Hal tersebut masih selalu menarik untuk didiskusikan dalam sebuah diskursus oleh para arsitek. Namun satu hal yang pasti yang akan selalu terjadi dalam paradigm arsitektur kekinian bahwa arsitektur baik yang hadir saat ini haruslah menjadi penanda zaman.


* Penulis adalah Arsitek, dan Mahasiswa paska sarjana Universitas Trisakti

30 Januari 2008

Mengakali Rumah Hadap Barat
Ditulis oleh : Reiny Dwinanda
Diterbitkan pada harian REPUBLIKA, 6 Januari 2008

Mengakali Rumah Hadap Barat Banyak hal bisa dilakukan untuk mengusir panas. Mulai dari memasang kisi-kisi sampai membuat bukaan serong.

Bicara tentang rumah ideal, para pakar arsitektur kerap menyebut arah selatan sebagai orientasi rumah paling oke. Persoalannya, kondisi yang mendekati sempurna itu biasanya sukar untuk dicapai. Terlebih, di area padat seperti perkotaan dan pinggirannya, di mana peluang untuk mendapatkan lokasi yang oke itu harus dibayar mahal. Hunian yang menghadap selatan menjadi favorit karena beberapa hal mendasar, utamanya pencahayaan yang teduh serta aliran angin yang memadai. Bagaimana jika rumah Anda 'terpaksa' menghadap ke arah lain?


Pengalaman Catur Wicaksono menggambarkan suka duka tinggal di rumah yang menghadap ke arah barat. Sejak mentari mencapai puncaknya, segenap penghuni rumah pegawai BUMN itu kipas-kipas kegerahan. Kondisi itu berlanjut hingga sang surya terbenam. ''Coba saja bayangkan berapa jam kami 'bersauna' tiap harinya,'' ayah tiga anak ini berseloroh satir. Adakah jalan keluar bebas gerah bagi Catur dan keluarga lain yang tempat bernaungnya menghadap ke barat?

Ternyata, banyak hal yang bisa dilakukan, baik saat proses desain ataupun ketika rumah sudah telanjur berdiri. Nah, saran dari arsitek, Denny Setiawan, berikut ini patut Anda pertimbangkan.


Kisi-kisi
Siang hari, pada pukul 14.00 hingga 16.30 WIB, cahaya matahari akan langsung masuk ke dalam rumah dan kondisi taman depan rumah akan sangat panas. Kalau sudah begitu, mereka yang tak tahan panas bisa tak betah berlama-lama di dalam rumah. ''Sebagai solusi, pasang kisi-kisi kayu atau besi sebagai sun-shading,'' kata Denny. Kisi-kisi bertindak sebagai secondary skin bagi rumah. Ia akan menghalangi panas matahari menerobos ke ruang privat Anda. Dari segi estetika, keberadaan kisi-kisi ini bagus juga. ''Bahan kayu dan besi yang berkualitas biasanya tahan lebih dari 10 tahun,'' tutur Denny yang berkomitmen menjalankan studio berbasis arsitektur hijau.


Plafon tinggi
Plafon yang tinggi mendatangkan kesan lapang pada rumah. Selain itu, udara di dalam ruang juga akan menjadi lebih dingin dengan adanya plafon yang tinggi. Mengapa bisa begitu? Ya, sebab hawa panas selalu naik ke atas. ''Ketika tempat berkumpulnya hawa panas jauh dari permukaan lantai, otomatis hawa panas tidak mengganggu aktivitas penghuni rumah,'' jelas pendiri Studio Denny Setiawan ini. Meski demikian, bukan berarti Anda disarankan untuk membangun plafon setinggi mungkin. Anda cuma perlu membangunnya dengan ketinggian proporsional.


Sirkulasi silang
Plafon tinggi saja belum cukup untuk membuat rumah yang menghadap barat lebih adem untuk dihuni. Anda masih perlu mempersiapkan sirkulasi silang. Artinya, harus ada bukaan di dua dinding yang berbeda. Dengan begitu, pertukaran udara lebih lancar. ''Tanpa adanya cross ventilation, plafon tinggi tak ada gunanya,'' ungkap pria yang lahir di Jakarta, 31 Desember ini. Intinya, tiap ruang harus bersentuhan langsung dengan udara luar. Tiap ruang mesti punya jendela. ''Sayangnya, banyak rumah yang kini dibangun penuh, tak menyisakan taman belakang. Itulah yang membuat rumah makin gerah,'' komentar Denny yang karyanya terpilih untuk dimuat dalam buku 125 Desain Fasade yang diterbitkan Imelda Akmal Architecture Writer.


Vegetasi
Lingkungan yang terjaga keasriannya berperan besar dalam menentukan suhu di luar dan dalam ruang. Jadi, jangan remehkan fungsi vegetasi di halaman rumah. Bagaimana jika halaman depan tidak cukup luas untuk menanam pohon-pohon rindang?Pohon tak cuma bisa ditanam secara horisontal. Cobalah untuk merambatkannya ke atas. ''Dengan memanfaatkan vegetasi sebagai dinding, penghuni rumah akan mendapatkan pasokan oksigen plus peredam panas yang baik,'' papar Denny.


Coba saja tambahkan tanaman rambat sebagai tirai di muka rumah dan rasakan perbedaan suhu sesudah pemasangannya. Niscaya, yang hijau-hijau ini akan meredam panas mentari. ''Itu bisa diredam dengan adanya kisi-kisi yang ditanami pohon,'' urai Denny. Tak pernah ada kata terlambat untuk melakukan perbaikan. Dengan dana yang tak pula berlebihan, Anda dapat mewujudkan taman vertikal yang memanjakan mata serta menyejukkan atmosfer sekitar rumah. Cantik dan fungsional, bukan?


Penyejuk udara
Menggunakan mesin penyejuk udara (AC) memang solusi singkat yang dipilih banyak orang. Tetapi, pilihan itu mendatangkan masalah baru. Siap-siap bengkak tagihan listrik Anda. Di samping itu, adanya kompresor AC di luar ruang akan membuat udara sekeliling menjadi lebih panas. Tinggal di iklim tropis, hunian tak semestinya dibangun dengan mengandalkan AC sebagai pengusir hawa panas. Masih banyak cara lain yang bisa ditempuh dan tidak berdampak buruk bagi dompet Anda, juga lingkungan hidup. ''Ayo, peduli sesama. Sayangi anak cucu dengan mengemat energi,'' ajak Denny.


Tata ruang
Ingin nyaman seharian di rumah yang menghadap ke peraduan sang surya? Cermati tepat tidaknya pembagian ruang di hunian Anda. Usahakan agar ruang utama alias ruang yang dijadikan tempat beraktivitas, tidak diposisikan di area yang lama terkena panas. Dengan begitu, Anda tak akan terlalu merasa gerah saat menjalani hari di ruang keluarga atau kamar tidur. Nah, sebagai gantinya, posisikan area servis di bagian depan. Panas yang menyengat dapat dimanfaatkan untuk mengeringkan pakaian atau menerangi dapur serta area mencuci. Agar tampak depan rumah tidak terlihat berantakan, diperlukan kamuflase. ''Kasih saja taman vertikal,'' cetus Denny, alumnus Universitas Bina Nusantara.


Bukaan serong
Hunian yang homy hendaknya diwujudkan sejak tahap desain. Untuk itu, pastikan Anda meminimalkan jendela yang menghadap barat. Ubahlah orientasi jendela ke utara atau selatan. Bukaan yang menyerong 30 derajat hingga 45 derajat dapat menghasilkan rumah yang lebih teduh. Dengan begitu, panas matahari tidak secara langsung menyeruak ke ruang-ruang pribadi Anda. ''Prinsipnya, cahaya matahari memang diperlukan, tetapi panasnya harus kita buang,'' tandas Denny. Trik yang simpel, bukan?

28 Desember 2007

[ sDs .. ] sebagai pemenang harapan 1 Sayembara Desain Rumah Hemat Energi








Safari Sayembara Desain Rumah Mungil yang diselenggarakan Tabloid Rumah telah berakhir. Dari 20 nominasi rumah hemat energi yang telah terlebih dulu diumumkan pada Tabloid Rumah edisi 124.V, ditetapkan 5 finalis yang harus mempresentasikan karyanya di depan dewan juri yaitu Adi Purnomo, arsitek, dan Titovianto, wakil dari departemen sumber daya energi dan mineral.

Beruntung bagi [ sDs .. ], salah satu dari kelima karya yang menjadi finalis sayembara tersebut merupakan karya rumah hemat energi karya [ sDs .. ] yang akhirnya menjadi pemenang harapan 1 pada hasil akhir Sayembara ini.

Ini adalah sebuah sukacita bersama mengingat besarnya dukungan dari semua pihak. Karenanya, pada kesempatan ini, [ sDs .. ] juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh rekan yang telah mendukung [ sDs .. ] selama persiapan lomba ini. Semoga karya ini menginspirasi anda semua agar semakn peduli akan penciptaan sebuah hunian yang peduli terhadap penghematan energi untuk keberlanjutan suksesi manusia.

Selamat kepada para pemenang sayembara ini, dan sampai jumpa di sayembara berikutnya.

13 Desember 2007

Sayembara Ide Desain Rumah Digital - Universitas Bina Nusantara
Juara III
Tim : Denny Setiawan, Maria Elisha

Fase 1 - Ketika volume rumah terus










Fase 2 - Ketika malam datang, dan waktunya menonton televisi










Fase 3 - Ketika banjir datang












Ide rumah digital ini merupakan sebuah entry untuk sayembara internal Universitas Bina Nusantara. Sayembara desain rumah digital ini boleh dikatakan sebagai sebuah kesadaran yang terlambat jika kita mengacu pada majalah-majalah arsitektur terbitan luar negeri yang sudah lama memperkenalkan desain rumah-rumah berteknologi tinggi sebagai inspirasi rumah masa yang akan datang dimana pada saat yang sama, di Indonesia kita masih terus saja disibukan dengan dogma-dogma arsiektur normatif seperti "apa definisi arstektur nusantara?" atau "bagaimana sebaiknya atap tropis?".

Sebuah kesadaran mengenai perpaduan arsitektur dengan teknologi tinggi ini membawa tim [ sDs .. ] pada sebuah konsep architecture = art + hi tech for future, atau dibahasakan sebagai perpaduan seni dan teknologi tinggi sebagai cikal bakal masa depan. Sebagai implementasi dari desain tersebut [ sDs ..] mencoba untuk merumuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi kini, dan yang akan terjadi di masa yang akan datang untuk kemudian diselesaikan dengan desain digital. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah :

Gejala terus membesarnya volume rumah
Fenomena banjir tahunan akibat dari pemanasan global
Rusaknya budaya luhur bangsa akibat terlalu banyaknya tayangan tidak mendidik di televisi lokal indonesia
Semakin menipisnya sumber energi dunia

Atas dasar keprihatinan di atas, [ sDs .. ] mencoba memberikan solusi desain dengan aplikasi dari beberapa ide, yaitu:

1. Penggunaan hydarulic platform
Saat ini hydraulic platform hanya lazim digunakan di tempat pencucian mobil, kenapa tidak piranti ini digunaka sebagai piranti untuk "menaik-turunkan" rumah? Dengan menurunkan rumah, sosok rumah bisa saja mengecil sesai dengan kebutuhan. Rasa tertekan seorang pejalan kaki berjalan di sebuah jalan yang kiri kanannya berdiri rumah berskala raksasa, tidak akan terjadi di saat rumah yang berdiri di atas tapak sksalanya seadannya, dan tidak berlebih-lebihan. Kesederhanaan ini menjadi alasan kenapa rumah ini senganja diturunkan ke level basement.

Dengan hydraulic platform,rumah juga dapat dinaikan jikalau banjir besar kembali melanda Jakarta. Dengan ditinggikan, berarti kita bisa menyelamatkan harta benda kita dari kebanjiran. Ide ini menjadi bijaksana mengingat hingga saat ini permasalahan banjir di Jakarta belum juga mencapai titik pencerahan penyelesaiannya.

2. Pemanfaatan dinding sebagai media televisi digital
Ide pemanfaatan dinding sebagai media penyampaian informasi digital ini hadir sebagai bentuk keprihatihan atas "pembodohan massal" yang dilakukan oleh oknum-oknum pertelevisian yang menghasilkan begitu banyak film-film tidak bermutu dengan rating sebagai tameng legitimasi penayangan acara-acara tersebut.

Kepedulian pemilik rumah atas budaya nasional menggugah pemilik rumah untuk memberikan informasi-informasi budaya yang mendidik bagi lingkungan sekitar, salah satu caranya adalah dengan menampilkan film-film bermutu di layar raksasa (dinding) rumahnya. Transfer budaya ini diharapkan menjadi kontra "racun" bagi budaya indonesia yang disebutkan tadi.

3. Penggunaan solar panel sebagai sumber daya alternatif
Kesadaran mengenai semakin menipisnya cadangan energi konvensional menyebabkan kecenderungan untuk penggunaan energi alternatif, yaitu energi cahaya matahari. Cahaya matahari dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan penggunaan piranti solar panel yang mengkonversikan energi alternatif tersebut menjadi energi listrik.

Desain ini mendapatkan apresiasi dari dewan juri yang terdiri dari Ir. Daryanto MSA, Ir. Indartoyo M.Ars, dan Ir. Gatot Suharjanto sebagai Juara ke-3. Semoga desain ini memberikan inspirasi.


12 Oktober 2007


Lomba Desain Fasade Seri Rumah Ide 1 / 2

Desain fasade rumah mungil ini adalah salah satu dari 125 karya terpilih yang masuk dalam buku 125 desain fasade seri rumah ide yang diterbitkan Imelda Akmal Architecture Writer bersama dengan Gramedia. Lomba desain fasade seri rumah ide itu sendiri diadakan pada medio Mei hingga Juni 2007 dan diikuti lebih dari 300 karya. Saat ini buku 125 desain fasade seri rumah ide sudah dapat diperoleh di toko-toko buku terdekat.

Judul Karya : Rumah Modern Tropis

Rumah yang diasumsikan memiliki bukaan ke arah barat ini menghadapi masalah dimana pada setiap sore hari, terik matahari langsung meningkatkan suhu di dalam rumah, yang tentu saja mengurangi tingkat kenyamanan penghuni dan juga meningkatkan konsumsi energi listrik demi kepentingan pengudaraan buatan.

Untuk menyiasati hal tersebut, rumah ini didesain memiliki sun-shading, dengan meletakan kisi-kisi kayu sebagai secondary skin, yang akan menghalangi panas dari radiasi matahari menyentuh ruang-ruang private secara langsung, dengan demikian, penggunaan energi dapat ditekan, dan kenyamanan thermal dapat ditingkatkan. Selain itu, efek bayangan dari sun-shading ini akan meningkatkan kualitas estetika dalam ruang.

Inovasi lain dari fasade rumah ini adalah penggunaan tanaman rambat, yang berguna selain sebagai pembatas ruang dalam dan ruang luar, juga sebagai pendingin udara alami. Inovasi ini juga berdampak langsung terhadap turunnya suhu udara sekitar, mengingat kota-kota besar di Indonesia saat ini memang kekurangan ruang hijau dimana tanaman dapat bertumbuh dengan layak.

Dari segi langgam, garis-garis tegas pada fasade, mengangkat kesan modern minimalis, yang bersatu secara manis dengan elemen hijau pada dindingnya. Karenanya, layaklah fasade rumah ini menjadi fasade rumah yang menjawab keadaan, tidak hanya dari segi estetika, maupun fungsi, dalam menjawab permasalahan iklim tropis.


Lomba Desain Fasade Seri Rumah Ide 2 / 2

Desain fasade rumah mungil ini adalah salah satu dari 125 karya terpilih yang masuk dalam buku 125 desain fasade seri rumah ide yang diterbitkan Imelda Akmal Architecture Writer bersama dengan Gramedia. Lomba desain fasade seri rumah ide itu sendiri diadakan pada medio Mei hingga Juni 2007 dan diikuti lebih dari 300 karya. Saat ini buku 125 desain fasade seri rumah ide sudah dapat diperoleh di toko-toko buku terdekat.
Judul Karya : The Box House
Fenomena rumah kotak / box house sudah terjadi mulai dari awal tahun 2000-an, ditandai oleh munculnya banyak arsitek-arsitek muda yang membawa kembali arsitektur modern kembali ke permukaan.

Dengan tampilan serba tegas dan tanpa pretensi untuk bercantik-cantik-ria, rumah kotak selalu memperlihatkan kesederhanaan fungsional setiap bidangnya. Suatu bentuk ada bilamana ada fungsinya, dan menjadi tidak ada jikalau tidak dibutuhkan.

Fasade rumah ini juga didesain dengan semangat yang sama dengan para arsitek muda tersebut. Gabungan dari dua buah kotak berbeda karakter menghasilkan perpaduan tegas simple, namun sangat fungsional. Eksplorasi material alam (Batu susun sirih, kayu bangkirai) bersatu dengan beton berfinishing cat biru menjawab bahwa modernitas paham arsitektur modern tidak akan pernah usang dimakan waktu.

Pemecahan masalah panas radiasi matahari diatasi dengan penggunaan secondary skin dan penggunaan kaca es. Dengan penyelesaian ini, sinar matahari tetap dapat masuk ke seluruh ruangan, namun panas yang dihasilkannya direduksi oleh kisi-kisi dan kaca es tersebut. Penyelesaian ini membuat energi yang dibutuhkan untuk system pengudaraan buatan dalam rumah tereduksi dengan sangat baik.

Dari segi estetika, kesederhanaan fasade rumah inilah yang justru membuatnya tampak menarik. Rumah ini diyakini akan sangat cocok dengan keluarga muda yang memiliki gaya hidup simpel dan energik.


11 Oktober 2007

Creative Center GBI Duta Garden
Pemilik Proyek : Gereja Bethel Indonesia di Duta Garden

Deskripsi Proyek :
GBI Duta Garden memiliki 4 kavling tanah yang saat ini di gunakan sebagai tempat parkir mobil jemaat. Bentuk keempat kavling tersebut bila di satukan, terdapat kelebihan tanah di salah satu sisinya. Kelebihan tanah tersebut kemudian digunakan sebagai tempat parkir motor.
Setelah dievaluasi, ternyata penempatan tempat parkir motor di area tersebut menjadi tidak maksimal karena jemaat lebih memilih memarkir motor dekat dengan gedung Gereja. Karenanya [ sDs .. ] mencoba mengalihfungsikan eksisting atap yang sudah ada ke sebuah bentukan arsitektur yang lebih fungional.

Lewat pengamatan terhadap kegiatan GBI Duta Garden, keputusan [ sDs .. ] adalah mengalihfungsikan parkir motor tersebut menjadi tempat berkumpulnya muda-mudi jemaat GBI Duta Garden. Pada tempat tersebut disediakan tempat kreatifitas (sebuah ruangan lengkap dengan fasilitas multimedianya), perpustakaan dan bale pertemuan kelompok sel / komsel.

Konsep yang hendak dicapai adalah penurunan suhu udara dengan elemen-elemen hijau. Tanaman rambat sengaja dirambatkan hingga keatap guna menurunkan suhu asbes yang menjadi eksisting tempat parkir sebelumnya. Diharapkan, tanpa system pengudaraan buatanpun, ruang ini tetap nyaman untuk digunakan.