26 Agustus 2009

Lokalitas pada sudut pandang kontemporer
Oleh: Denny Setiawan, ST. *

Arsitektur adalah penanda kota, bahkan bangsa, paling tidak itulah yang kita lihat pada fenomena menara Eiffel karya arsitek Gustav Eiffel di Paris, Sydney Opera House karya arsitek Jorn Utzon di Sydney, atau bahkan Guggenheim Museum di tepi kota Bilbao di Spanyol. Pada akhirnya kota-kota tersebut tidak meluputkan potensi mengeruk devisa dari karya-karya masterpiece arsitektur tersebut. Sebelum Guggenheim Museum berdiri di Bilbao, Bilbao hanya sebuah kota industri yang hampir mati dan cenderung menjadi beban negara Spanyol secara devisa dan radikalisme pemberontakan kaum Basque. Kini, sejarah mencatat bahwa kehadiran sebuah museum bernama Guggenheim Museum karya arsitek Frank O. Gehry yang mewujud dalam bentukan yang abstrak mampu merubah semua anggapan bahwa sebuah kota yang mati akibat tidak adanya potensi dan radikalisme seperti Bilbao tidak bias terselamatkan.

Bilbao, sejenak setelah Guggenheim Museum berdiri adalah keduk devisa pariwisata dari Spanyol. Tidak lengkap rasanya bagi pecinta seni mengunjungi Spanyol tanpa singgah sejenak dan berpose di depan Guggenheim Museum. Hal tersebut juga berlaku di Eiffel, Sydney Opera House, Great Wall di China dan banyak karya arsitektur masterpiece lain di seluruh dunia.Fenomena-fenomena terseut menunjukan bahwa arsitektur menempatkan diri di posisi penting dari peradaban kebudayaan sebuah bangsa. Bagaimana dengan Jakarta, pusat kegiatan pemerintahan Negara Republik Indonesia?

Sebagai Ibukota dari sebuah Negara besar berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa, masihkah kita terus menggantungkan diri kepada Monumen Nasional (Monas) karya arsitek Soedarsono dan F. Silaban sebagai landmark penanda kota? Ataukah kita boleh jadi mulai mendorong lahirnya karya-karya arsitektur baru yang justru mengarahkan kota ini pada sebuah identitas modernisme baru seperti fenomena yang terjadi di Dubai, Uni Emirat Arab? Atau mungkin lebih baik kita menelaah lagi potensi lokal kota ini dari berbagai sisi mulai dari seni, budaya, material, iklim, dan lain-lain yang akhirnya kita sebut sebagai pencarian lokalitas arsitektur sebuah kota? Semuanya menjadi menarik apabila ditarik pada kondisi saat ini dimana satu-persatu hasil budaya bangsa ini mulai diklaim oleh bangsa lain sebagai miliknya karena melihat rendahnya apresiasi bangsa ini terhadap hasil budayanya sendiri.

Dimanakah lokalitas ditempatkan di tengah begitu derasnya perkembangan arus informasi melalui kemajuan perangkat teknologi? Adalah sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh begitu banyak arsitek yang berkreasi membawa nama bangsa ini dalam setiap karya-karya arsitektur terbangunnya. Lokalitas bias jadi ditempatkan di tempat ke sekian dilihat dari begitu cepatnya perubahan radikalis bentuk-bentuk baru arsitektur di seluruh dunia.

Arsitektur di Jepang sebagai sebuah contoh, sejak era industrialis hingga kini malah lebih memperkokoh identitasnya sebagai arsitektur yang akrab dengan bahan-bahan metal (alumunium, baja, dll) dan beton sebagai identitas kontemporer mereka. Padahal, secara kasat kita tentu masih ingat arsitektur kayu dan kertas mereka pada zaman arsitektur awal di Jepang. Perubahan radikal juga terjadi di China menjelang olimpiade di Beijing tahun 2008 lalu. Bird Nest Stadium karya arsitek Jacques Herzog dan Pierre de Meuron, dan juga Watercube, stadion renang uang digunakan di olimpiade tahun 2008 menunjukan pada dunia keterbukaan China terhadap seni arsitektur kini (arsitektur kontemporoer). Di 2 negara dengan kekuatan penghargaan terhadap kebudayaan lokalnya masing-masing tersebut, arsitektur kontemporer mampu diterima dengan sangat baik. Pertanyaannya apakah dengan penerimaan tersebut mereka lupa dengan isu lokalitas teritori mereka sendiri dari cermin bentukan arsitektur baru yang mereka terima dan mereka hidupi? Pertanyaan tersebut akan dengan sendirinya terjawab apabila kita menelaah lebih dalam lagi alasan-alasan filosofis di balik berdiri megahnya karya-karya arsitektur tersebut kini.

Masyarakat Jepang terkenal sangat efisien dalam segala hal termasuk juga pemakaian material bagi arsitektur tempat mereka hidup. Tahun demi tahun mereka meneliti cara terbaik menyediakan lingkungan binaan yang efisien bagi semua aktifitas mereka mengarah kepada pemakaian material-material yang efisien berdaya tahan sangat lama. Penelitian tersebut mengarahkan mereka pada kemungkinan mengganti material dasar arsitektur mereka dari kayu menjadi metal dan beton tanpa melupakan inti-inti filosofis zen mereka yang mengharuskan keselarasan dengan alam bagi tempat mukim mereka. Begitupula yang terjadi di China. Filosofis sarang burung (bird nest) sebagai sebuah penanda kemakmuran diwujudkan dalam sebuah stadium yang secara bentuk sangatlah jauh berbeda dari bentuk arsitektur tradisoonal China pada umumnya. Penerimaan terhadap kemajuan teknologi tersebut mengajarkan kepada kita bahwa lokalitas arsitektur sebuah bangsa tidak bisa dilihat secara sempit dari bentuk ataupun material yang dipakai.

Bagaimana dengan arsitektur di Indonesia secara umum dan Jakarta pada khususnya? Melihat lebih dalam arsitektur sebuah kota tidak boleh lepas dari melihat fenomena yang terjadi di dunia pada umumnya. Isu mengenai pemanasan global, keberlanjutan dan lain-lain yang menjadi inti dari pelestarian lingkungan hendaknya tidak boleh terlepas dari awal perencanaan sebuah karya arsitektur. Apalah artinya arsitektur megah berfilosofis apabila arsitektur tersebut tidak berumur lama. Kesadaran tentang kondisi lingkungan sekitar yang mewujud dalam bentukan arsitektur tersebut juga menggambarkan bagaimana masyarakat lokal kota bersikap terhadap lingkungan sekitarnya. Esensi sikap dalam berarsitektur tersebutlah yang justru harus dimengerti ketika kita mencoba mengerti lokalitas dari sebuah karya arsitektur, lokalitas kota, bahkan lokalitas sebuah bangsa.

Kecenderungan kita menutup diri terhadap bentuk-bentuk arsitektur baru yang mengintervensi masuk justru dikhawatirkan menjadi bumerang bagi bangsa apabila tidak disikapi dengan bijaksana. Hendaknya karya arsitektur yang baru tersebut kita pelajari dengan filter fenomena-fenomena lokal dari keseharian kota hingga kemudian kita menemukan bentukan baru bagi kota kita sendiri yang akhirnya menghasilkan arsitektur baru yang kontekstual dan berkontribusi positif bagi kota dan sekitarnya. Tidakkah kita juga rindu bahwa yang dikenal dari kota Jakarta atau Indonesia adalah sebuah karya arsitektur yang menjadi penanda kota seperti yang terjadi di Paris, Bilbao, ataupun Sydney? Jika demikian bagaimana kita memaknai lokalitas yang menjadi identitas kota ini kini? Hal tersebut masih selalu menarik untuk didiskusikan dalam sebuah diskursus oleh para arsitek. Namun satu hal yang pasti yang akan selalu terjadi dalam paradigm arsitektur kekinian bahwa arsitektur baik yang hadir saat ini haruslah menjadi penanda zaman.


* Penulis adalah Arsitek, dan Mahasiswa paska sarjana Universitas Trisakti